Sabtu, 07 Juli 2007

Esai Filosofis

Eksistensi Manusia Tidak Dapat Dibuktikan Melalui Berpikir
Kritik Terhadap Descartes
Oleh:
Ahmad Suharto
Rene Descartes
Rene Descartes atau Cartesius (1596-1650) adalah bapak “filsafat modern”. Descartes digolongkan sebagai seorang tokoh pemikir aliran filsafat rasionalisme. Aliran Rasionalisme mempercayai sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya dan mencukupi adalah akal. Pengetahuan yang didapat melalui akal sajalah yang memenuhi sarat aturan umum dan sarat pengetahuan ilmiah. Bagi seorang rasionalis akal tidak memerlukan pengalaman karena pengalaman berfungsi untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat melaui akal. Metode berpikir yang dipakai adalah metode yang dipakai dalam ilmu pasti metode deduktif.
Aliran rasionalis filsafat modern membangun teori berpikir dengan berfokus pada manusia sebagai subject pemikiran. Mengambil jarak dengan tradisi dan membangun aturan-aturan dalam berpikir atau sistematika dalam mengambil keputusan. Filsafat yang dibangun oleh kaum rasionalis mempunyai sistem bangunan yang pasti. Descartes membangun sistematika filsafatnya berdasarkan pada metode keraguan (dubium methodicum). Metode berpikir Descartes berangkat dari satu hal yang jelas dan terpilah (clear and distinctly).
Intuisi bagi Descartes adalah kegiatan intelektual atau penampakan yang jelas dan tidak meninggalkan keraguan didalam pikiran. Intuisi memberikan kebenaran yang mendasar, sederhana dan tidak dapat deperkecil lagi “ saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum). Intuisi memberikan hubungan antara kebenaran yang satu dengan yang lainnya. Deduksi adalah sejenis intuisi yang berbeda dengan silogisme, deduksi harus berangkat dari kebenaran yang tidak teragukan.
Descartes membangun teori berpikirnya didasari oleh :
1. Tidak menerima sesuatu sebagai kebenaran sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas sebagai kebenaran.
2. Membagi masalah yang rumit menjadi beberapa bagian yang mungkin.
3. Memulai berpikir dari sesuatu yang gampang dan sederhana kemudian meningkat tahap demi setahap kearah yang lebih rumit.
Descartes kemudan menyusun beberapa skema berpikir dubium methodicum, tahap awal adalah meragukan segala sesuatu, argumentasi mimpi, cogito ergo sum, argumentasi penyesatan, Tuhan, argumen tentang Tuhan dan sifat asasi benda.

Filsafat Descartes
Filsafat Descartes berangkat dari kebutuhan bahwa setiap orang untuk mendapatkan kebenaran yang telah dipercaya. Dalam hal ini Descartes mengusulkan pengunaan matematika untuk membuktikan kebenaran yang sudah didapat. Kemudian dia membangun teori yang sagat radikal yaitu metode keraguan (the method of doubt). Metoda ini megharuskan adanya keraguan untuk seluruh kepercayaan yang telah ada sampai dapat dibuktikan kebenarannya.
Dia juga menyadari kemungkinan untuk salah dalam menangkap pencerapan panca indera (contohnya ketika benda dimasukkan kedalam air). Sehingga perlu juga dikaji seluruh pengetahuan yang didapat melalu indera. Kemudian dia juga menyangsikan kebenaran saat berada pada sebuah situasi apakah itu didalam mimpi atau dalam keadaan sadar. Bisa juga kita selalu dalam keadaan bermimpi atau juga hilang kesadaran? Atau juga pengalaman yang didapat adalah salah?
Didalam bukunya Meditaton, dia mengajak kita untuk duduk didepan api dan dengan baju panjang, kemudian menayakan apa bedanya hal itu dengan orang yang rusak ingatan yang sedang membayangkan dirinya jadi seorang raja. Didalam mimpi Descartes mendapati juga situasi yang sama ketika dia merasa sedang belajar tetapi pada kenyataannya dia berada di atas tempat tidur. Tetapi untuk kasus seperti hitungan matematika tidak akan berbeda pada saat tidur dan terjaga (satu ditambah satu adalah dua baik tidur atau terjaga).
Untuk mengatasi argumentasi mimpi Descartes membangun argumentasi Tuhan yang maha agung dan maha pemurah tidak akan menyesatkan ciptaanNya. Setelah argumentasi Tuhan muncul kemudian argumentasi penyesatan oleh setan (evil genius). Setan adalah substansi yang mempunyai kekuatan untuk menyesatkan. Situasi ini memaksa Descartes untuk selalu mencurigai segala sesuatu, sampai hal itu dipastikan kebenarannya melaui proses berpikir.Berpikir adalah salah satu proses untuk menghindari kesesatan yang disebabkan oleh setan. Terakhir, Descartes sampai pada kesimpulan “Saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum).

Kritik Terhadap Descartes
Descartes mendukung doktrin pemisahan antara jiwa dan badan (mind and body) atau terkenal sebagai Cartesian Dualism. Kritik terhadap Descartes muncul ketika doktrin dualisme berhadapan dengan tesis “saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum). Saya berpikir adalah kerja dari otak yang terkait erat dengan jiwa (mind) yang merupakan satu premis yang jelas dan terpilahkan. Saya hasil dari berpikir adalah eksistensi yang merupakan satu perluasan dari jiwa kedalam tubuh. Tubuh adalah premis yang self evident dan sesuatu yang innate dan tidak perlu pembuktian. Kesulitan muncul ketika akan menyatukan antara saya berpikir (jiwa) dan saya (tubuh) yang merupakan hasil dari berpikir. Penyatuan antara “saya berpikir” dengan “saya” dalam tesis “saya berpikir maka saya ada” akan menggangu konsistensi doktrin dualisme yang dianut Descartes. Kerancuan diatas terlihat dari silogisme berikut:
Jiwa tidak sama dengan tubuh
Tubuh tidak sama dengan jiwa
Jadi Jiwa dan tubuh adalah berbeda (Bagaimana dua hal yang berbeda menjadi satu dan satu bagian mengukuhkan bagian yang lain?. )
Kritik lain yang sejalan dengan judul makalah ini adalah Eksistensi manusia tidak mungkin dibuktikan dengan berpikir. Eksistensi manusia adalah sesuatu yang swabukti dan ketika bergabung dengan jiwa menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan tentang eksistensi adalah pengetahuan yang praktikal. Berpikir yang merupakan kerja dari otak adalah sebuah pengetahuan yang reflektif. Eksisensi manusia dan proses berpikir adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. “Saya berpikir maka saya ada”, adalah sebuah kerancuan memahami pengetahuan praktikal dan pengetahuan reflektif yang merupakan dua hal berbeda. Penyatuan antara pengetahuan praktikal dan pengetahuan reflektif adalah tidak mungkin. Sama juga ketika mencoba membuktikan penyatuan antara subyekifitas dan obyektifitas juga antara konsepsi dan eksistensi.


Daftar Pustaka

As Sadr, Muhamad Baqir. Our Philosophy. Qum: Ansyarian, 2000

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius, 1980

Higgins, Kathleen & Robert C. Salomons. A Short History of Philosophy. New York:Oxford University Press, 1996

Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar, 2006

Scruton, Roger. A Short History of Modern Philosophy. London: Routledge, 2002

Senin, 02 Juli 2007

Esai Filosofis

PENGEJAWANTAHAN HUKUM MORAL KANT UNTUK
PERBAIKAN MORALITAS BANGSA

(sebuah kajian filosofis)
Esai oleh Bhayu Mahendra H. *)

Pasca lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, terjadi suatu kondisi dimana tercipta ketidakpastian hukum. Sekedar mengambil ilustrasi, seorang pencuri ayam tewas dipukuli beramai-ramai oleh massa, sementara pada saat bersamaan seorang koruptor milyaran rupiah dibebaskan pengadilan. Ironis? Mungkin, tapi jangan menghakimi dulu.
Kita juga kerap membaca berita-berita tentang kelakuan para wakil rakyat yang melupakan rakyat yang diwakilinya. Sebutlah misalnya kelakuan mereka yang ‘tega’ meminta gaji dan fasilitas yang sedemikian besar tanpa diimbangi kinerja dan pengabdian yang setimpal. Demikian juga para penyelenggara negara atau pemerintah yang masih saja dirundung isu korupsi, kolusi dan nepotisme. Kalau sudah begini, lantas di benak masyarakat akan timbul pertanyaan: “dimana moralitas mereka?”
Golongan masyarakat yang geram pun tidak jarang berupaya menyuarakannya, baik dengan aksi demonstrasi maupun bentuk ungkapan keprihatinan lainnya. Keprihatinan macam ini kerapkali justru mengundang reaksi balik dari yang dikritisi. Tidak hanya sekali dua kali penguasa beserta aparat keamanannya menudingnya sebagai “tidak bermoral”, misalnya karena dituduh menghujat apa yang dianggap lambang-lambang kenegaraan.
Sampai di sini, bisa jadi masyarakat kebanyakan yang tergolong “silent majority” --mereka berjumlah besar namun tidak ikut menyuarakan keprihatinan-- akan jadi bingung. Kedua belah pihak yang berhadapan masing-masing menuding lawannya sebagai “tidak bermoral”. Lantas, sebenarnya apa itu moral dan moralitas? Bagaimana mengatasi krisis moralitas yang terjadi pada bangsa ini? Essai singkat ini mencoba menjawab secara filosofis apa yang sebaiknya dilakukan pada saat kritis ini.

1. Arti moral dan moralitas dalam filsafat
Pertama-tama ada baiknya dimengerti bahwa kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak:mores), yang berarti kebiasaan atau adat. Kata mores dipakai oleh banyak bahasa masih dalam arti yang sama, termasuk bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], “moral” dijelaskan dengan membedakan tiga arti: “1) (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila 2) kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan 3) ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu cerita.”
Dari definisi kamus di atas, bisa dipahami bahwasanya pengertian moral terkait dengan kualitas tindakan manusia, yaitu baik dan buruk. Satu hal yang khas adalah moralitas hanya dimiliki manusia. Hewan apalagi tumbuhan tidak memiliki kesadaran tentang baik dan buruk, yang harus dilakukan atau tidak pantas dilakukan. Kata “harus” sendiri bisa mencakup dua pengertian: keharusan alamiah dan keharusan moral. Keharusan alamiah terjadi secara otomatis karena hukum alam. Keharusan moral didasarkan pada suatu hukum lain: hukum moral. Di dalam filsafat, ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas dikenal dengan nama etika.[2]
Dikenal adanya tiga arti kata “etika” dalam filsafat, yaitu[3]:
1. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa dirumuskan sebagai “sistem nilai”, yang bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan atau sosial.
2. Kumpulan asas atau nilai moral, atau dikenal sebagai “kode etik”.
3. Ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Di sini sama artinya dengan “filsafat moral”.
Secara etimologis atau asal katanya, kata “moral” dapat dipersamakan dengan arti kata “etika” pada butir pertama. Jadi, moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan “moralitas” (dari kata sifat Latin moralis) pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya nadanya lebih abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.[4]

2. Hukum Moral Kant
Apabila sudah jelas apa yang dimaksud dengan moral dan moralitas, kita bisa melangkah ke pembahasan berikutnya. Sudah disebutkan di atas tentang adanya hukum moral bagi manusia. Hukum inilah yang memandu manusia untuk melakukan keharusan moralnya. Dalam filsafat, cukup banyak filsuf yang menaruh perhatian pada etika sebagai ilmu yang membahas moralitas. Masalah etika bahkan sudah dibicarakan semenjak zaman Yunani Kuno antara lain oleh Plato (427-348 S.M.).
Salah satu filsuf etika yang begitu berpengaruh bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan selanjutnya adalah Immanuel Kant (1724-1804). Filsuf Jerman ini menghasilkan tiga buku yang membahas tentang etika, yaitu Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (The Foundations of the Metaphysics of Morals/Pendasaran Metafisika Kesusilaan)-1785, Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason/Kritik Akal Budi Praktis)-1788, dan Die Metaphysik der Sitten (Metaphysics of Morals/Metafisika Kesusilaan)-1797. Buku yang sering dijadikan rujukan untuk etika Kant adalah buku yang pertama, karena di sanalah dasar argumennya berada.
Untuk mengerti etika Kant, harus diperhatikan dua hal lebih dulu. Pertama, Kant membedakan dengan tajam antara bentuk dengan materi atau isi tiap tindakan manusia. Kedua, manusia yang bertindak menurut bentuk tindakan berarti ia bertindak menurut pertimbangan atau patokan tertentu.[5]
Hal pertama bersangkutan dengan tindakan yang dilakukan itu wajib atau tidak. Apabila ada seseorang yang melakukan suatu tindakan, ia pasti memiliki tujuan atau akibat yang hendak dicapai. Itulah yang disebut Kant dengan materi atau isi. Namun Kant berpendapat kehendak baik ditentukan oleh bentuknya. Kant menyatakan, tiap tindakan manusia didorong oleh kehendak. Maka, tindakan baik juga didorong oleh kehendak baik. Kehendak itu baru baik apabila mau memenuhi kewajibannya.[6] Itulah yang dimaksud dengan bentuk oleh Kant, yaitu tindakan yang didorong oleh kehendak baik, yaitu kehendak untuk taat pada kewajiban.
Sementara hal kedua berkaitan dengan masalah penilaian tindakan. Untuk menilai tindakan seseorang, harus diperhatikan patokan apa yang dipakainya. Kant menggunakan istilah maxime untuk ini, artinya “prinsip yang berlaku secara subyektif, yang patokannya ada pada pandangan yang subyektif, yang menjadikan seseorang menganggapnya sebagai pedoman untuk bertindak.”[7]
Maxime mendorong manusia melakukan tindakan berdasarkan pertimbangan subyektif. Karena manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, maka bisa jadi tindakannya itu akan menjadi sewenang-wenang. Maka, Kant menyatakan perlunya prinsip kedua yang atasnya tindakan manusia seharusnya didasarkan. Prinsip ini adalah prinsip atau kaidah obyektif, yang memberi patokan bagaimana manusia harus bertindak. Prinsip ini bersumber dari budi atau rasio, dimana kehendak yang dilakukan benar-benar obyektif. Kant berpendapat tindakan yang benar-benar obyektif berasal dari budi atau rasio. Maxime dapat bersifat moral apabila ia mengandung kehendak untuk menghormati hukum moral.
Kant membedakan antara akal (verstand) dengan budi atau rasio (vernunft). Akal bekerja mengatur data-data indrawi secara spontan, yaitu dengan mengemukakan putusan. Sedangkan yang disebut budi atau rasio adalah daya pencipta pengertian-pengertian murni yang tidak diberikan oleh pengalaman.[8] Dengan kata lain, akal akan menghasilkan pengetahuan secara aposteriori atau berdasarkan pengalaman. Sementara budi atau rasio bekerja secara apriori. Apa yang dikemukakan budi atau rasio adalah hal yang semu secara transendental, artinya ide-ide itu tidak memberi gagasan tentang kenyataan-kenyataan yang ada. Ia tidak berada sebagai benda dalam dirinya sendiri (das Ding an sich), namun hanya bersifat metafisis.
Karena budi atau rasio bersifat semu secara transendental, maka ia tidak memiliki tujuan yang hendak dicapai dalam tindakan yang didorongnya. Karena itulah Kant memandang kehendak seperti ini sebagai obyektif. Dari kehendak yang obyektif ini akan muncul dua macam perintah atau imperatif yang mendorong tindakan moral, yaitu imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis ialah perintah bersyarat yang mengemukakan suatu perbuatan sebagai alat untuk mencapai sesuatu. Imperatif kategoris ialah perintah yang tidak goyah dan tidak ada hubungannya dengan tujuan yang harus dicapai.
Bila imperatif hipotetis memiliki tujuan di luar dirinya, pada imperatif kategoris tujuan itu terletak dalam dirinya sendiri. Artinya, bila pada imperatif hipotetis berlaku pernyataan: “kalau kamu bertindak a, maka akan mencapai tujuan b”, pada imperatif kategoris tidak. Imperatif hipotetis memiliki kelemahan karena tujuan dapat bersifat subyektif. Karenanya, Kant menganjurkan dipakainya imperatif kategoris. Di sini kehendak dan hukum adalah satu.[9] Inilah yang disebut Kant sebagai “budi praktis yang murni” (reine praktische Vernunft), dimana tidak diperlukan syarat apapun untuk melaksanakannya.
Pendeknya, dalam imperatif kategoris tercakup rumusan Kant tentang tindakan yang bisa dinilai baik secara moral. Menurutnya, tindakan seseorang adalah baik secara moral bukan lantaran tindakan itu dilakukan demi mencapai tujuan tertentu, apalagi lantaran itu dilakukan berdasarkan kecenderungan spontan atau selera pribadi. Namun lantaran perbuatan itu dilakukan demi untuk kewajiban semata-mata.[10]

3. Pengejawantahan Hukum Moral Kant di Indonesia
Satu hal terpenting yang patut digarisbawahi dari etika Kant adalah konsep “kehendak baik adalah kehendak yang didorong oleh kewajibannya.” Ini berarti, manusia terdorong melakukan perbuatan atau tindakan baik karena kepatuhannya pada kewajiban. Kewajiban dipandang oleh Kant sebagai dasar tindakan moral dan dikenal sebagai hukum moral Kant. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah kehendak yang baik tanpa pembatasan. Itulah yang oleh Kant disebut moralitas.[11]
Dalam menilai perbuatan manusia, hampir tidak mungkin diberikan penilaian moral yang mutlak terhadap orang lain. Bahkan Kant sendiri berkata, “Hanya Allah mampu melihat bahwa tekad batin kita adalah moral dan murni.”[12] Ukurannya adalah diri sendiri, yang berarti tiap orang harus benar-benar memperhatikan hati nuraninya.
Telah kita ketahui, bahwasanya Kant menekankan perlunya imperatif kategoris sebagai pendorong tindakan moral tersebut. Tuntutan imperatif kategoris yang bersifat umum dan mutlak ini baru terjamin apabila pendasaran tindakan kita diletakkan di atas sebuah prinsip atau hukum formal.[13].
Kant menyatakan, maxime yang terdapat dalam diri seseorang saat bertindak berdasarkan imperatif kategoris harus sesuai dengan hukum umum (allgemeines Gesetz). Hukum umum ini berlaku secara universal sebagai patokan bagi tindakan moral manusia. Sifat dapat diuniversalisasikan ini menjadi syarat wajib bagi tindakan yang akan dilakukan. Bila suatu tindakan manusia secara universal atau hukum umum dipandang baik secara moral, maka tindakan itu bisa dilakukan. Demikian pula sebaliknya.
Disinilah perlunya sebuah norma hukum ditegakkan. Norma hukum sebenarnya memiliki perbedaan dengan norma moral. Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Sementara norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.[14]
Di negara kita, sering dikatakan kita adalah bangsa yang bermoral. Namun nyatanya, dekadensi moral juga dipertontonkan dengan telanjang. Karena sulitnya moral dinilai dari luar, maka diperlukan suatu landasan agar manusia bisa bertindak baik. Dengan mengingat pendapat Kant bahwa tindakan hanya baik bila didorong oleh kehendak baik yaitu kehendak untuk memenuhi kewajiban semata-mata, maka kewajiban itu perlu dirumuskan dengan tegas dalam hukum formal.
Memang, sebenarnya ada perbedaan signifikan antara hukum dan moral, yaitu:[15]

1. Hukum lebih dikodifikasi daripada moralitas. Ini berarti dituliskan dan secara kurang lebih sistematis disusun dalam kitab undang-undang. Karena itu norma yuridis memiliki kepastian lebih besar dan bersifat obyektif. Sebaliknya norma moral lebih bersifat subyektif dan akibatnya banyak ‘diganggu’ oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis atau tidak etis.
2. Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan antara legalitas dan moralitas yang sangat ditekankan Immanuel Kant. Orang yang hanya dengan lahiriah memenuhi norma-norma moral, disebut berlaku secara “legalistis”. Sebab, legalisme ialah sikap memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan diri dari dalam.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian terbesar dapat dipaksakan. Tapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan, karena tidak akan efektif. Perbuatan-perbuatan etis harus berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang.
4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Hukum harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Masyarakat harus mematuhi norma moral tanpa bisa diubah.
Meskipun terdapat perbedaan, namun moral jelas membutuhkan hukum. Moral akan menjadi sesuatu yang semu dan abstrak belaka bila tidak diejawantahkan dalam hukum. Maka, dalam menerapkan hukum moral dari Kant, perlu juga dilegalisasikan dalam hukum formal.
Sisi inilah yang sebaiknya diterapkan di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama, hukum yang dipakai saat ini di Indonesia adalah hukum buatan zaman kolonial yang sudah ratusan tahun umurnya. Banyak sekali pasal-pasal yang --bila mengambil istilah Kant-- terpatok pada imperatif hipotetis. Bahkan lebih jauh lagi banyak sekali aturan-aturan yang tidak sesuai dengan moralitas.
Misalnya saja masih adanya aturan hatzaai artikelen atau pasal penyebar kebencian di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita. Di dalam pasal tersebut diatur tentang adanya larangan bagi rakyat menyebarkan kebencian kepada penguasa. Pasal ini bertentangan dengan moralitas karena ia mengebiri hak rakyat untuk menyuarakan hati nuraninya dan semata melindungi kepentingan penguasa. Bahkan di Belanda sendiri pasal ini sudah dihapus lebih dari seabad lalu.
Dekadensi moral yang terjadi di negeri ini terjadi karena tidak tegaknya hukum formal kita. Hukum formal di sini tidak semata berupa KUHP, tapi juga undang-undang dan peraturan-peraturan berkekuatan hukum lainnya. Hukum moral dari Kant mensyaratkan adanya dorongan untuk melaksanakan kewajiban agar sebuah tindakan bisa disebut baik. Sekarang, bagaimana orang bisa melaksanakan kewajiban kalau kewajibannya tidak diatur jelas dalam hukum? Dan sebaliknya, bagaimana orang tidak akan terdorong melanggar hukum moral kalau sanksinya tidak tegas? Hukum moral kerapkali dianggap cuma omong kosong, karena ia tak punya kekuatan sanksi lahiriah. Sanksi bagi pelanggar hukum moral sebatas tidak tenangnya hati nurani. Namun bagaimana itu bisa terlihat dari luar?
Maka, agar hukum moral Kant bisa tegak di Indonesia, tidak cukup dengan penataran apalagi himbauan belaka. Sudah terbukti, orang Indonesia cenderung mengabaikan himbauan yang tidak disertai sanksi tegas. Sudah saatnya hukum formal kita ditegakkan di atas hukum moral, karena jelas hukum formal bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. Hukum negara kita harus ditegakkan, kalau perlu disusun ulang disesuaikan dengan kebutuhan kontemporer dan terutama dengan moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Dan yang patut diingat adalah prinsip utama: moral menilai hukum, bukan sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, Kees. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

__________________. 1997. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius.

__________________. 1998. 13 Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tjahjadi, S.P. Lili. 1991. Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Yogyakarta: Kanisius.

*) Mahasiswa S-2 Islamic Philosophy di Islamic College for Advanced Studies-Universitas Paramadina. Secara intelektual adalah Koordinator Utama Kelompok Kajian Mentari Pemikiran (MP) dan Direktur Eksekutif FIKIR (Forum Ilmu Kajian Islam Rasional).

CATATAN KAKI:
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2001: 754-755)
[2] Bertens (1993: 15)
[3] ibid. Hlm. 6-7
[4] ibid. Hlm. 7
[5] Suseno (1998: 136)
[6] loc.cit.
[7] Tjahjadi (1991: 49)
[8] Hadiwijono (1980: 71)
[9] ibid. Hlm. 74
[10] Tjahjadi (1991: 51)
[11] Suseno (1997 : 144)
[12] dikutip oleh Tjahjadi (1991: 48)
[13] ibid. Hlm. 82
[14] Suseno (1987: 19)
[15] Bertens (1993: 43-45)