Rabu, 20 Februari 2008

Esai Ke-Islaman

PEMBARUAN ISLAM MACAM APA?
Oleh: Bhayu Mahendra H.

Tulisan ini semula adalah tanggapan terhadap tulisan Martin Lukito Sinaga bertajuk Pembaruan Islam di Indonesia di Indopos (26/3/2006). Dalam tulisan tersebut ia berkesimpulan pembaruan ala liberal dalam Islam akan menghilangkan rasa cemas umat Kristen. Benarkah itu yang diperlukan muslim Indonesia? Tulisan ini diperbaharui untuk blog mentaripemikiran bulan Februari 2008.

Pembaruan dan Kejayaan Islam
Sebagai suatu agama yang diyakini pengikutnya langsung diturunkan dari Allah sebagai satu-satunya Tuhan, Islam sudah dianggap final oleh para penganutnya. Hal ini dinyatakan dalam QS Al-Maa-idah (5) : 3 : “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah kuridho’i Islam itu jadi agama bagimu…” Hanya saja, penafsiran ajarannya tetap belum final, karena seiring perkembangan zaman, aneka problem bermunculan.
Jalan keluarnya, dibukalah pintu ijtihad (terobosan) dari para ulama dengan ijma’ (ketetapan ulama). Dari sinilah lantas berkembang sejumlah mazhab agama dan aliran pemikiran teologis. Tercatat ada empat mazhab utama (Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali) dan sejumlah aliran pemikiran (Yang masih besar adalah Syi’ah, Sunni-Asy’ariyyah, Wahabi-Salafi dan Ahmadiyah. Sementara di masa lalu sempat eksis antara lain Khawarij, Murji’ah, Jabariyyah, Qadariyyah, Mu’tazilah). Dari tangan merekalah saat itu muncul begitu banyak pembaruan dalam Islam.
Tidak heran, saat itu dunia Islam berkembang begitu pesat. Mulai dari jazirah Arab, Eropa hingga Asia Tenggara dan Selatan dirambah oleh kasih Allah. Berbagai cara dilakukan untuk meluaskan pengaruh Islam. Berbeda dengan misi zending Katolik yang membonceng penaklukan militer, Islam diluaskan dengan perdagangan, penyebaran ilmu pengetahuan, hingga pertukaran budaya. Dalam kasus-kasus tertentu, dimana penguasa yang masih kafir tidak mau tunduk -dengan masuk Islam atau membayar jizyah- maka barulah dimaklumkan perang. Kehandalan pasukan Islam ini begitu mencengangkan, sehingga dalam studi orientalis barat yang tidak imbang ada pemeo bahwa Islam disebarkan dengan pedang.
Meski banyak wilayah yang akhirnya takluk dengan peperangan, ada yang berbeda dengan penaklukan oleh bangsa dan agama lain. Islam tidak pernah menghancurkan kebudayaan asli, namun justru memperkayanya. Di sinilah kemudian terjadi asimilasi dan pembaruan Islam. Filsafat, ilmu pengetahuan dan budaya Islam berkembang, karena interaksi dengan tradisi Yunani, Graeco-Roman, dan Yudeo-Kristen.
Sayangnya, pasca kemajuan tersebut, para penguasa Islam terlena dan larut dalam konflik politik-kekuasaan. Sehingga, terjadi peperangan antar kerajaan Islam untuk berebut pengaruh. Proses pembaruan terhenti, karena para ahli ilmu pengetahuan dan filsuf tak lagi memiliki posisi penting. Tak sedikit ulama dibunuh hanya karena berbeda pendapat dengan penguasa.
Tak heran dalam masa-masa akhir kekhalifan Islam, barat mengenalnya sebagai kekuasaan imperium yang penguasanya bergelimang kemewahan dunia, termasuk dengan haremnya yang sebenarnya haram itu. Hal ini membuat mereka jauh dari sifat zuhud (sederhana) dan cenderung pada ubud (berbangga pada amalnya) dan hubud dunya (cinta dunia). Dari uraian tadi, maka jelaslah bahwa saat muslim taat pada agamanya, melakukan pembaruan berbagai bidang seperti pada masa-masa keemasan kekhalifan Islam, maka pintu-pintu kejayaan terkuak.

Toleransi, Bukan Pluralisme
Barulah pada abad ke-20 ini sejumlah pemikir Islam modern kembali bangkit. Walau belum sepenuhnya berpengaruh karena tidak langsung berhubungan dengan dunia politik-kekuasaan seperti di masa lalu, toh pemikiran mereka membawa angin segar. Nama-nama seperti Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman, atau Fatima Mernissi, menghiasi pentas pemikiran peradaban Islam modern. Saya tidak akan membahas mengenai mereka dalam tulisan ini.
Lantas -dengan menyederhanakan problematika yang ada- saya mempertanyakan, pembaruan Islam macam apa yang diperlukan muslim Indonesia? Apakah yang keras seperti gerakan puritanisme atau yang lembek seperti liberalisme? Saya berpendapat, bukan dua-duanya. Bila yang pertama akan membawa umat Islam kembali ke zaman kekuasaan kekhalifahan yang mutlak dan otoriter, yang kedua justru akan menambah kehancuran Islam karena kehilangan substansi ajaran agama sendiri.
Pembaruan yang diperlukan muslim Indonesia sejatinya adalah pembaruan dalam pola berpikir dan membangun relasi dengan pihak lain. Salah satu yang terpenting adalah mengimplementasikan kesalehan dan kefanatikan terhadap kebenaran ajaran Islam ke dalam diri sendiri dan tidak dipaksakan kepada orang lain. Biarkan segala ibadah dinilai oleh Allah sendiri dan jangan diatur dengan aturan manusia. Tidak perlu memaksakan orang lain untuk mencapai kualitas keberagamaan tertentu dengan aneka UU atau Perda, karena jelas keimanan tak bisa dipaksakan. Ingatlah QS Al-Baqarah (2) : 256 yang mengatakan “tidak ada paksaan dalam agama”
Keliru pula bila untuk membangun relasi dan mendekatkan diri dengan agama lain umat Islam harus ‘melucuti senjata’ akidahnya. Mengakui adanya kebenaran universal atau pluralisme agama sejatinya adalah sama dengan mengakui kalau Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar dari Tuhan. Anehnya, Kristen tidaklah disarankan untuk menjadi liberal dan mengakui Islam secara lebih baik. Misalnya saja dengan mengakui bahwa Muhammad adalah benar seorang Nabi yang diutus setelah Isa. Alternatif pengakuan Kristiani seperti disodorkan Hans Kung (1984) pun paling jauh menawarkan konsep Muhammad “mungkin adalah sejenis Nabi Israel berbaju Arab.”
Terlebih, masih ada pandangan dalam pikiran sebagian penganut Kristen bahwasanya Nabi umat Islam adalah Nabi palsu antikristus yang diramalkan akan datang di akhir zaman sesuai dengan Wahyu 13:11-18. Keengganan mengakui kenabian Muhammad juga tersirat dalam Konsili Florensa tahun 1442 dengan doktrinnya extra ecclesiam nullus propheta-tidak ada Nabi di luar gereja. Walau begitu ada perbaikan pandangan terhadap Islam dalam Konsili Vatikan II (1962-1965) dengan dirilisnya dokumen Nostra Aetate-Dewasa Kita. Meski Kristen tidak hanya ada satu, bagaimanapun pandangan Katolik Roma sebagai denominasi paling terorganisir rasanya pantas kita anggap mewakili pandangan Kristen secara umum terhadap Islam.
Dengan demikian, apa yang harus dilakukan muslim Indonesia di negara yang bhinneka ini dalam konteks relasi dengan pihak lain adalah meningkatkan toleransi. Syariah, ibadah dan mu’amalah terus dijaga, keimanan harus dipegang teguh, sementara toleransi dengan pihak lain dikembangkan. Pihak lain di sini tidak hanya Kristen, tapi juga agama lain, bahkan sesama Islam yang bermazhab berbeda. Muslim Indonesia harus mampu menunjukkan wajah modern: menguasai teknologi, cerdas dan berwawasan serta toleran terhadap perbedaan. Inilah pembaruan yang seharusnya ditampilkan.
Melalui pembaruan pemikiran, tindakan, dan kebudayaan Islam, wajah Islam Indonesia seharusnya bisa tampil lebih sejuk, damai, dan mencerahkan. Kebenaran adalah milik Allah dan Allah tidak perlu bantuan kita untuk menyebarkannya. Seperti kita tahu bahwasanya dakwah bil hal akan lebih efektif daripada bil lisan. Ini sejalan dengan penelitian psikologi perkembangan bahwasanya memberikan contoh pada orang lain dengan tindakan akan lebih bermanfaat daripada dengan kata-kata belaka.
Pada akhirnya, saya berpendapat toleransi merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari umat manusia yang berperadaban. Hanya saja tidak perlu lantas terjebak pada paham pluralisme. Rasanya cukup apa yang difirmankan Allah SWT dalam QS Al-Kaafiruun (109): 6 : “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”